Menggembel di Semarang

Suasana liburan udah mulai menyeruak dimana-mana. Keinginan akan jalan-jalan sudah membuncah di ubun-ubun. Dengan modal kepastian libur 3 minggu dari pihak kampus dan bonek (bondo nekat), para pandawa lima (Aku, Soir, Feri, Bram, dan Samsul) menyiapkan mental menuju Semarang sekalian pulang setelahnya untuk melepas kangen dengan keluarga.

Berangkat dari kos jam 18.30 dan sampai di Stasiun Senin jam 20.00. setelah memesan tiket Kereta Api Tawang Jaya, kami menunaikan sholat Isya di dalam stasiun sembari menunggu kereta yang berangkat jam 21.30.

Akhirnya kereta yang ditunggu-tunggu datang. Kami mendapatkan kursi di gerbong 3 tapi dengan kursi yang terpisah. Karena kita berangkat hari Senin, maka banyak kursi yang tidak berpenghuni. Melihat hal ini, kami berinisiatif pindah ke gerbong 10, gerbong paling belakang, agar bisa duduk bersama dan tidur dengan nyaman. Waa… senangnya bisa duduk sendirian di 2 tempat duduk sekaligus, alamat bisa tidur nyenyak nih…

Waktu terus berjalan. Jam 6.03 kereta sudah tiba di Stasiun Poncol, telat 55 menit dari jadwal yang seharusnya. Tujuan pertama kita adalah Tugu Muda dan Lawang Sewu.

Tugu Muda dan Lawang Sewu

Dengan berjalan sekitar setengah jam-an, kita sudah berada di kompleks tugu muda. Di sekeliling tugu muda terdapat Lawang Sewu, Museum Mandala Bakti, Wisma Perdamaian, Gedung Pandanaran, dan Gereja Katedral. Tugu ini dibuat untuk memperingati pertempuran Lima Hari di Semarang yang dipimpin oleh Mayor Kido untuk menyerang tentara Jepang yang memakan korban kurang lebih 2000-an orang pada 15 Oktober 1945.

Lawang Sewu adalah bangunan bergaya art deco tiga lantai karya arsitek Belanda, Prof Jacob F Klinkhamer dan BJ Queendag, yang dibangun tahun 1903 dan diresmikan pada 1 Juli 1907 untuk menjadi kantor pusat Perusahaan Kereta Api Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij (ref: id.wikipedia.com). Untuk masuk ke dalam perlu membayar Rp 5000 per orang. Tapi karena masih banyak tempat yang akan dikunjungi, kita tidak masuk ke dalam. Pada saat kita kunjungi, Lawang Sewu masi direnovasi untuk dijadikan kantor PT KA DAOPS IV Semarang. Sebagai kenang-kenangan, kita berfoto-foto dulu di loko Kereta UapĀ  tipe C2301 buatan Jerman tahun 1908 di halaman depan gedung yang dianggap angker oleh masyarakat ini.

Setelah puas berfoto-foto, kita melanjutkan perjalanan masih dengan berjalan kaki ke Simpang Lima lewat Jalan Pandanaran.

Pusat Oleh-Oleh Khas Semarang dan Kawasan Simpang Lima

Semarang terkenal dengan Lumpia dan Bandeng Prestonya. Untuk membelinya bisa ke Pusat Oleh-oleh Pandanaran. Sayang, karena masih jam 8.00 tidak ada toko yang buka. Hiks…

Tidak sampai 10 menit kita sudah berada di Simpang Lima. Pada siang hari, Simpang Lima hanyalah lapangan rumput biasa di tengah kota. Karena tidak ada yang menarik, kami beristirahat sebentar ke Masjid Baiturahman untuk sekedar menyegarkan diri dari panasnya kota Semarang. Setelah rehat sejenak, Samsul pamit untuk pulang ke Salatiga dan 4 sekawan melanjutkan perjalanan menuju tempat berikutnya, Klenteng Sam Poo Kong. Okey, expedition must go on…

Kelenteng Sam Poo Kong

Dengan naik Angkot jurusan Simpangan dari Simpang Lima, kita menuju kelenteng yang terletak di jalan Simongan 129, Bongsari, Semarang Selatan. Bangunan ini cukup mencolok dari jalan utama dengan warna merah menyala. Tiket masuknya pun terbilang murah, hanya Rp 3000.

Kelenteng ini pertama kali dibangun tahun 1724 untuk mengenang Laksamana Cheng Ho yang dianggap leluhur masyarakat Tionghoa di Semarang. Kemudian diadakan pemugaran tahun 2002. Kelenteng dengan luas 3,7 hektar ini cukup rindang dan megah sehingga serasa sudah berada di Negeri Cina. Di belakang bangunan utama kelenteng terdapat Gua Batu yang diyakini sebagai tempat berlindung dan tempat tinggal Laksamana Cheng Ho saat terdampar di pantai Simongan. Sayang kami tidak dapat masuk karena hanya untuk orang-orang yang ingin sembahyang.Dan kami menikmati suasana kelenteng dengan berfoto-foto. Setelah dinilai cukup, saatnya hengkang dari sini menuju Pagoda Avalokitesvara.

Pagoda Avalokitesvara

Kami menuju kesana dengan bus jurusan Pudak Payung yang lewat di seberang jalan dari Kelenteng Sam Poo Kong. Dalam perjalanan, terlihat pemandangan menakjubkan semarang bawah dan juga melewati Taman Tabanas yang ditandai dengan tugu BI.

Pagoda ini terletak di lereng bukit di jalan Perintis Kemerdekaan atau di depan markas Kodam Diponegoro. Untuk masuk ke tempat ini tidak dipungut biaya alias gratis dan hanya menitipkan KTP yang dapat diambil saat pulang. Dalam kompleks pagoda ini terdapat batu yang berbentuk seperti gong, pohon bodhi, patung Dewi Kwan Im di empat penjuru, aula, dan tentunya pagoda yang masuk rekor MURI sebagai pagoda tertinggi di Indonesia. Pagoda ini berbentuk segi delapan dan memiliki tinggi 45 meter.

Kami istirahat sejenak di bangunan aula untuk melindungi diri dari teriknya sinar matahari dan tentunya tak lupa untuk berfoto-foto lagi sebelum melanjutkan perjalanan. Karena waktu telah menunjukkan angka 12 lewat, kami melakukan sholat dulu di musholla di kompleks TNI yang berada di belakang kompleks pagoda ini. Setelah sholat, kami balik ke kota Semarang tepatnya ke daerah RS Karyadi untuk mencari makan siang. Saya memilih makan nasi mawut yang rupanya nasi dengan lauk ikan laut panggang yang dikasih kuah santan. Setelah kenyang, kami melanjutkan ke tujuan terakhir yaitu Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Tapi sayangnya guide kami, Bram, harus pulang menuju Ungaran.

Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT)

Dengan oper angkot sampai 3 kali, 3 backpacker sampai di MAJT. Masjid dengan fasilitas pendukungnya seperti kantor, perpustakaan, auditorium, dan toko-toko penjual cinderamata dan makanan ini diresmikan tahun 2006 di tanah seluas 10 hektar. Masjid ini terlihat sangat megah dengan plaza yang begitu luas dengan keenam payung raksasa yang biasanya dibuka saat Shalat Jumat. Di bawah plaza ini terdapat lahan parkir untuk mobil dan kendaraan roda dua. Tempat wudhunya juga cukup lapang dengan toilet yang jumlahnya cukup banyak. Sayang disini tidak ada pengaturan pintu masuk dan keluar untuk pria dan wanita seperti halnya di Masjid Dian al Mahri, Depok, yang dapat menghindari kontak langsung saat akan beribadah. Di kompleks MAJT ini juga terdapat bedug raksasa dan tower untuk melihat pemandangan kota semarang dari lantai 19. Untuk mencapai lantai 19, cukup membayar Rp 5000 yang saat turun tiketnya dapat ditukar dengan 3 sachet Marimas yang menurut kami ga penting banget. Oh iya, di lantai 18 terdapat restoran.

Mendung yang sudah cukup tebal akhirnya menumpahkan isinya ke bumi. Untungnya bus menuju terminal Terboyo lewat di jalan depan MAJT. Bis ini memiliki rute melewati kawasan kota lama Semarang sehingga kami dapat melihat pemandangan bangunan peninggalan zaman kolonial seperti Gereja Blenduk yang direnovasi tahun 1894 oleh W. Westmaas dan H.P.A. de Wilde sehingga memiliki arsitektur seperti sekarang. Di terminal Terboyo, aku dan Soir harus bepisah dengan Feri yang memiliki jalur pulang yang berbeda yaitu ke Klaten. Rupanya tidak hanya stasiun Tawang saja yang sering banjir, terminal Terboyo ini juga banjir. Bener-bener bad day. Bus jurusan Surabaya mulai berangkat jam 6-an malam dan sampai di Terminal Purbaya jam 3.30 keesokan harinya. Kemudian aku berpindah menuju bus jurusan Probolinggo sedangkan Soir tetap di bus karena rumahnya di daerah Taman. Alhamdulillah, aku sampai dengan selamat di rumah tepat saat adzan shubuh berkumandang….

Rincian Biaya Transportasi:
St. Pasar Senen-St. Poncol : KA Tawang Jaya Rp 28000
Simpang Lima-Kelenteng Sam Poo Kong : Rp 2500
Kelenteng Sam Poo Kong-Pagoda Avalokitesvara : Rp 3000
Pagoda Avalokitesvara-RS Karyadi : Rp 2500
RS Karyadi-Simpang Lima : Rp 2500
Simpang Lima-MAJT : Rp 2500×2
MAJT-Terminal Terboyo : Rp 3000
Terminal Terboyo-Terminal Purabaya : Rp 40000
Terminal Purabaya-Pasuruan : Rp 10000